ITU HENDARMAN SUPANDJI, BUKANNYA REKTOR X)  

Posted by: Anisa Setya Arifina in

Masih berlanjut dari cerita sebelumnya, kisah seputar magang itu betul-betul mendebarkan. Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 21 Oktober 2010, Universitas Diponegoro (Undip) tempat saya belajar sedang menggelar sebuah seminar nasional tentang “Jati Diri Bangsa” dalam rangka dies natalisnya yang ke 53. Bertempat di sebuah gedung yang biasa menjadi tempat wisuda, acarapun digelar dengan mengundang beberapa narasumber yang sangat teristimewa dan berpengaruh di jagad politik Indonesia. Sebut saja : Hendarman Supandji (HS), Rahardi Ramelan, Duta Besar Indo-Belanda (lupa namanya?!) turut meramaikan acara. Sebenarnya masih ada banyak lagi politikus yang akan hadir seperti Effendi Ghozali, Muladi, Adiaksa Dault, tetapi mereka berhalangan hadir karena pada saat itu ada unjuk rasa di Jakarta mengenai pemerintahan SBY.

Baiklah sebenarnya 3 narasumber itu sudah cukup berbobot untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Pada saat ini kebodohan ku sebagai wartawan magang pun dimulai, bahkan mungkin juga hari itu adalah hari sialku. Wartawan magang(WM) pasti didampingi oleh wartawan senior (WS). Pada saat seminar hampir usai saya mengetik sebuah SMS kepada WS saya, begini bunyinya :
WM :“Mas sy lg di seminar ni, nrsmbrnya HS dkk, enaknya tanya apaan nih?”
WS : “Tanya ini aja, apakah mmng sorg plt jaksa agung tdk dpt memutuskan pengajuan SKPP kembali Bibit-Chandra, seandainya bpk msh d kejaksaan bgmn?, kbjkn yg diambilnya saat dia mnjbt kejagung & ternyata dinyatakan tdk sah, kbjkn d kejaksaan ap jg ikt tdk sah?”
WM : (membaca SMS)……krikkrikkrik………(--“)

Jujur saya tidak mengerti isi SMS nya, jujur lagi saya tidak mengerti masalah politik, jujur saya paling malas membaca atau menonton media cetak yang sedang bernuansa politik dan jujur memang hari itu adalah hari tersial saya, karena cuaca mendung dan koneksi telekomunikasi mengalami gangguan (sungguh!). Saya mencari di google tentang HS dan isu-isu politik yang terkait dengannya, tapi koneksi tidak memungkinkan, selalu saja terputus. SMS terhenti, telepon selalu bernada sibuk. Jalan satu-satunya saya pikir adalah bertanya dengan teman saya yang kuliah di fakultas hukum, ternyata dia mengalami kebingungan yang sama dengan saya. Hadehh ibuuuuuuu…..

Kepanikanpun terjadi. Akhirnya sebelum memutuskan apapun saya bertanya pada sahabat-sahabat saya melalui SMS dengan pertanyaan yang setelah saya telaah beberapa hari kemudian adalah pertanyaan bodoh : “Hrskah sy wa2ncara dg tema yg tdk sy mengerti, teman?”, lalu kebanyakan teman saya menjawab : “Kamu pasti bisa, wartawan po rak?!, pasti ada yang pertama untuk segala hal. Kata-kata itulah yang kemudian menjadikan saya nekat mewawancarai HS hanya dengan berbekal 3 pertanyaan dari WS dan pengetahuan politik hukum saya yang nol besar. Damn! Rasanya grogi abis, seperti mau e** di celana.

Seusai seminar saya bertanya pada panitia ingin mewawancarai HS, kemudian….
Panitia : “Oh iya mbak itu lagi di ruangan VIP, sedang makan, mbak bilang aja ke ajudannya, itu yang lagi makan di pinggir pintu (sambil menunjuk punggung orang yang membawa tas kulit kotak).
WM : GLEK ---- AJUDAN?!!!
Saya berjalan pelan menghampiri punggung itu, sambil menarik tas nya dengan mata tertutup (kayak copet pemula),
WM : “Mas saya mo wawancara pak Hendarman” (masih dengan mata memicing)
Ajudan : (berpaling, sambil memegangi mangkok) “Iya mbak, bentar ya, lagi makan”
WM : (muka melongo) OH MY GOSH! VIN DIESEL (dalam hati)

Setelah menunggu beberapa saat dengan mengeluarkan pose-pose yang tidak pantas diceritakan secara terperinci selama menunggu. 3 ajudan HS keluar dari ruangan mengamankan pintu tempat keluar.Saya masih duduk lemas di koridor ruangan VIP itu sambil terus berdoa agar saya semuanya berjalan lancar, tiba-tiba ajudan yang tadi menunjuk ke arah belakang saya. Saya menengok dan masih saja bengong saat orang yang keluar dari ruangan VIP itu melewati saya. Hanya ada satu alasan saya bengong : Saya berpikir bahwa orang yang baru saja keluar dari ruangan itu adalah rektor saya, dan ternyata itu adalah HS. Mereka berdua memiliki postur tubuh yang serupa. Oh maiii kebodohan macam apa ini…..kemudian saya mengejarnya….dengan tergopoh-gopoh membawa tas, map, notes, bolpen dan handphone.
WM : “Pak bisa wawancara?”
HS : “Loh tadi kan sudah?”
WM : “Tapi pak saya dari ANTARA”
HS : “Oh, iya silakan.
WM : “blablablablabla”
HS : “blablablablabla, sudah ya cukup sampai disini.(posisi sudah akan dikawal oleh polisi & ajudan)
WM : (tidak mengerti apa yang baru saya tanyakan dan apa yang HS katakan) & (ketakutan melihat ke arah polisi dan ajudan, lebih takut lagi melihat kerumunan mahasiswa yang seperti ingin menyerbu HS) “Oh… (melongo)

Alasan saya melongo : Saya didorong ke belakang oleh segerombolan mahasiswa yang saya kira ingin mendemo HS, ternyata mereka hanya ingin berfoto bersama. Bayangkan rebutan berfoto bersama HS? *no comment.
Pose saya melongo : mengacungkan handphone masih dengan sudut yang sama ketika saya mewawancarai HS, dengan mulut terbuka lebar ke arah kerumunan itu.
Ajudan : (menahan tawa, melihat ke arah saya dengan tatapan curiga, seperti ingin menilai bahwa saya ini sebenarnya bukan wartawan asli) Saya melihat dengan sangat jelas sunggingan senyum yang dia tahan di ujung bibir, saya curiga dia sudah menahan tawa sejak tadi di koridor VIP.hmm.

This entry was posted on Senin, November 29, 2010 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar