Posted by: Anisa Setya Arifina in

I knew that I was born into this world only to fight for the name of justice.

Nothing can shake my world with a series of word seduction or a blink of the eye.

I stopped my steps when there is no one shout for justice as one of the basic needs,

but who would dare to silence the voice of God?

(You know what to do)

 

Posted by: Anisa Setya Arifina in

It seems that we are different, with the love that unites us.

It seems that we are together, when our eyes collide with each other.

Silence or a crowd, and all to the contrary, I think all is a mere mirage.

Whether you realize it or not, but from the distance where you feel alive, some are stalking us.

The life you think you know what that means, before you meet with me.

(It seems)

IBU SAYA TIDAK SETUJU SAYA MENJADI WARTAWAN  

Posted by: Anisa Setya Arifina in

Ini bermula dari beberapa bulan belakangan ini dimana bencana meletusnya gunung Merapi sedang ramai diperbincangkan di media massa, tidak terkecuali kantor berita tempat saya magang. Seorang wartawan senior di tempat saya magang, selalu berusaha mengajak kami untuk ikut bersama beliau meliput di daerah-daerah yang terkena efek Merapi. Berhubung pemagang masih ada tanggungan kuliah, maka ajakan ini selalu kami tolak. Bahkan, bos kantor berita tempat kami magang juga tidak mengeluarkan ijin untuk kami pergi meliput ke daerah bencana.

Meletusnya gunung Merapi mulai agak mereda di bulan November 2010, tetapi pemerintah belum menurunkan status Awas-nya. Hal ini berakibat masih banyak pengungsi yang belum diperbolehkan pulang ke rumahnya masing-masing. Wartawan senior yang sama kemudian mengajukan pertanyaan yang sama lagi kepada kami (kedua pemagang), apakah kami mau meliput ke daerah Merapi sana dan mewawancarai pengungsi. Berhubung saat dia bertanya adalah saat kami baru saja selesai dengan ujian tengah semester, maka kami menyahut dengan kencang “MAUUUUU….”.

Wartawan senior itu keluar dari ruangan kami dengan muka sumringah dan akan segera meminta ijin kepada bos kantor berita untuk membawa kami ikut serta liputan ke Merapi. Tetapi sayangnya sampai saat ini belum ada konfirmasi lagi apakah kami bisa ikut atau tidak dengan beliau. Saya rasa bos tidak akan member ijin kepada kami. Padahal kami ingin sekali pergi kesana.

Setelah sampai rumah saya menceritakan hal ini kepada ibu saya :

Ibu :“Jangan,ngapain kamu pergi kesana”(mungkin ibu saya yang sedikit pelupa kalau saya sedang magang di kantor berita sebagai wartawan)

Saya:“Lah aku kan wartawan magang”

Ibu :“Ah, tetep jangan nanti kamu malah dibawa ke puncak Merapinya lagi”

Saya:“Gak lah, kan pasti ada petugas polisi yang jagain mpe radius berapa meter. Lagian nambah pengalaman juga nanti kalau aku jadi wartawan”

Ibu: “Ibu tu dari awal gak pernah setuju kamu jadi wartawan”

Saya: ….krikrikkrik…..*baiklah ibu.

Well, oke setidaknya pasti ibu memiliki alasan yang kuat kenapa tidak membiarkan saya menjadi wartawan. Mereka lebih setuju saya jadi dosen, sedangkan saya ingin sekali menjadi wartawan untuk majalah jalan-jalan atau fashion, setelah merasakan pengalaman menjadi pemagang dengan berita-berita hardnews. Alasan ibu sederhana saja : “Tidak ingin membiarkan saya mati konyol, ketika meliput berita-berita yang mempertaruhkan nyawa, seperti bencana, perang, terorisme dll”.

Setelah dipikir-pikir, alasan ibu ini sangat sinkron dengan kejadian yang menimpa saya sebelumnya, dimana saya disuruh untuk meliput demo buruh. Demo buruh yang dilakukan di siang bolong pasti bisa membakar emosi siapapun. Awalnya demo berjalan dengan tenang, tetapi kemudian, setelah melewati jam 12 siang dan cuaca semakin panas, massa menjadi tidak sabar. Mereka berupaya untuk masuk ke kantor gubernur tetapi dihalangi oleh barikade polisi yang telah berjaga di depan gerbang. Halangan ini kemudian membuat mereka saling dorong dan mengeluarkan kata-kata kotor yang bisa bikin siapa saja emosi karena telah terpanggang hampir 5 jam di bawah terik matahari. Posisi saya saat itu terjepit diantara barikade polisi dan barikade massa, situasi saling dorong tidak dapat terhindarkan. Setelah saya sadar, saya hanya satu-satunya wartawan wanita yang kerempeng sedang di tengah situasi terjepit itu, saya panik kemudian saya beringsut ke belakang barikade polisi, berlindung di pojokan dengan sikap siaga sambil berdoa.”Ya Tuhan jangan ada kerusuhan”. Wartawan non-magang benar-benar mengabadikan momen ini dengan teliti, sedangkan saya ciut dibelakang sambil komat-kamit sambil dihujani tatapan dari para polisi yang curiga. *hadehhh.

Kata-kata makian semakin terdengar dari 2 belah kubu, polisi dan massa. Kepanikan saya menjadi-jadi tapi untunglah aksi dorong-dorongan segera berhenti. Tidak berhenti di situ, demo yang telah ijin kepada pihak polisi sebelumnya ini berjanji hanya akan memakai 1 ruas jalan saja, tetapi semakin siang, massa malah memakan 2 ruas jalan, dan kerusuhan hampir saja terjadi antara massa, polisi dan pengguna kendaraan. *fiuh.

Massa seperti kesetanan memberhentikan kendaraan yang kebanyakan mobil, sambil menggedor-gedor kap depan mobil. Sambil meneriakkan “Kalian gak tau rasanya panasan, dasar tukang korupsi kalian semua” + kata-kata kotor . Lalu saya melirik plat mobil-mobil yang dihentikan mereka, hmm, tidak ada plat merah. Untuk beberapa saat massa yang memakai ruas jalan seenaknya ini tidak bisa dikendalikan dengan polisi, bahkan mereka tidak bisa dipukul mundur (kayak perang!). Saya melihat bambu-bambu yang mereka bawa untuk mengibarkan bendera persatuan buruh, akan dijadikan alat untuk melawan siapapun yang kontra dengan mereka. Para wartawan senior yang saya ikuti sedari tadi (maklum cah magang) malah mendekati mereka, saya terserang panik kedua kalinya,saya sudah mengambil posisi siaga untuk lari, jika sewaktu-waktu memang terjadi kerusuhan. *keterlaluan nan memalukan.

Baiklah, mungkin karena ini saya tidak disetujui menjadi wartawan oleh ibu saya. Serangan panik yang tiba-tiba bukanlah sifat wartawan, lagipula mana ada wartawan yang melewatkan kerusuhan, justru bad news is a good news. Ibu saya juga berpendapat bahwa wartawan adalah orang yang bisa mati konyol, karena mereka mendekati masalah bukannya menjauhinya.

ITU HENDARMAN SUPANDJI, BUKANNYA REKTOR X)  

Posted by: Anisa Setya Arifina in

Masih berlanjut dari cerita sebelumnya, kisah seputar magang itu betul-betul mendebarkan. Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 21 Oktober 2010, Universitas Diponegoro (Undip) tempat saya belajar sedang menggelar sebuah seminar nasional tentang “Jati Diri Bangsa” dalam rangka dies natalisnya yang ke 53. Bertempat di sebuah gedung yang biasa menjadi tempat wisuda, acarapun digelar dengan mengundang beberapa narasumber yang sangat teristimewa dan berpengaruh di jagad politik Indonesia. Sebut saja : Hendarman Supandji (HS), Rahardi Ramelan, Duta Besar Indo-Belanda (lupa namanya?!) turut meramaikan acara. Sebenarnya masih ada banyak lagi politikus yang akan hadir seperti Effendi Ghozali, Muladi, Adiaksa Dault, tetapi mereka berhalangan hadir karena pada saat itu ada unjuk rasa di Jakarta mengenai pemerintahan SBY.

Baiklah sebenarnya 3 narasumber itu sudah cukup berbobot untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Pada saat ini kebodohan ku sebagai wartawan magang pun dimulai, bahkan mungkin juga hari itu adalah hari sialku. Wartawan magang(WM) pasti didampingi oleh wartawan senior (WS). Pada saat seminar hampir usai saya mengetik sebuah SMS kepada WS saya, begini bunyinya :
WM :“Mas sy lg di seminar ni, nrsmbrnya HS dkk, enaknya tanya apaan nih?”
WS : “Tanya ini aja, apakah mmng sorg plt jaksa agung tdk dpt memutuskan pengajuan SKPP kembali Bibit-Chandra, seandainya bpk msh d kejaksaan bgmn?, kbjkn yg diambilnya saat dia mnjbt kejagung & ternyata dinyatakan tdk sah, kbjkn d kejaksaan ap jg ikt tdk sah?”
WM : (membaca SMS)……krikkrikkrik………(--“)

Jujur saya tidak mengerti isi SMS nya, jujur lagi saya tidak mengerti masalah politik, jujur saya paling malas membaca atau menonton media cetak yang sedang bernuansa politik dan jujur memang hari itu adalah hari tersial saya, karena cuaca mendung dan koneksi telekomunikasi mengalami gangguan (sungguh!). Saya mencari di google tentang HS dan isu-isu politik yang terkait dengannya, tapi koneksi tidak memungkinkan, selalu saja terputus. SMS terhenti, telepon selalu bernada sibuk. Jalan satu-satunya saya pikir adalah bertanya dengan teman saya yang kuliah di fakultas hukum, ternyata dia mengalami kebingungan yang sama dengan saya. Hadehh ibuuuuuuu…..

Kepanikanpun terjadi. Akhirnya sebelum memutuskan apapun saya bertanya pada sahabat-sahabat saya melalui SMS dengan pertanyaan yang setelah saya telaah beberapa hari kemudian adalah pertanyaan bodoh : “Hrskah sy wa2ncara dg tema yg tdk sy mengerti, teman?”, lalu kebanyakan teman saya menjawab : “Kamu pasti bisa, wartawan po rak?!, pasti ada yang pertama untuk segala hal. Kata-kata itulah yang kemudian menjadikan saya nekat mewawancarai HS hanya dengan berbekal 3 pertanyaan dari WS dan pengetahuan politik hukum saya yang nol besar. Damn! Rasanya grogi abis, seperti mau e** di celana.

Seusai seminar saya bertanya pada panitia ingin mewawancarai HS, kemudian….
Panitia : “Oh iya mbak itu lagi di ruangan VIP, sedang makan, mbak bilang aja ke ajudannya, itu yang lagi makan di pinggir pintu (sambil menunjuk punggung orang yang membawa tas kulit kotak).
WM : GLEK ---- AJUDAN?!!!
Saya berjalan pelan menghampiri punggung itu, sambil menarik tas nya dengan mata tertutup (kayak copet pemula),
WM : “Mas saya mo wawancara pak Hendarman” (masih dengan mata memicing)
Ajudan : (berpaling, sambil memegangi mangkok) “Iya mbak, bentar ya, lagi makan”
WM : (muka melongo) OH MY GOSH! VIN DIESEL (dalam hati)

Setelah menunggu beberapa saat dengan mengeluarkan pose-pose yang tidak pantas diceritakan secara terperinci selama menunggu. 3 ajudan HS keluar dari ruangan mengamankan pintu tempat keluar.Saya masih duduk lemas di koridor ruangan VIP itu sambil terus berdoa agar saya semuanya berjalan lancar, tiba-tiba ajudan yang tadi menunjuk ke arah belakang saya. Saya menengok dan masih saja bengong saat orang yang keluar dari ruangan VIP itu melewati saya. Hanya ada satu alasan saya bengong : Saya berpikir bahwa orang yang baru saja keluar dari ruangan itu adalah rektor saya, dan ternyata itu adalah HS. Mereka berdua memiliki postur tubuh yang serupa. Oh maiii kebodohan macam apa ini…..kemudian saya mengejarnya….dengan tergopoh-gopoh membawa tas, map, notes, bolpen dan handphone.
WM : “Pak bisa wawancara?”
HS : “Loh tadi kan sudah?”
WM : “Tapi pak saya dari ANTARA”
HS : “Oh, iya silakan.
WM : “blablablablabla”
HS : “blablablablabla, sudah ya cukup sampai disini.(posisi sudah akan dikawal oleh polisi & ajudan)
WM : (tidak mengerti apa yang baru saya tanyakan dan apa yang HS katakan) & (ketakutan melihat ke arah polisi dan ajudan, lebih takut lagi melihat kerumunan mahasiswa yang seperti ingin menyerbu HS) “Oh… (melongo)

Alasan saya melongo : Saya didorong ke belakang oleh segerombolan mahasiswa yang saya kira ingin mendemo HS, ternyata mereka hanya ingin berfoto bersama. Bayangkan rebutan berfoto bersama HS? *no comment.
Pose saya melongo : mengacungkan handphone masih dengan sudut yang sama ketika saya mewawancarai HS, dengan mulut terbuka lebar ke arah kerumunan itu.
Ajudan : (menahan tawa, melihat ke arah saya dengan tatapan curiga, seperti ingin menilai bahwa saya ini sebenarnya bukan wartawan asli) Saya melihat dengan sangat jelas sunggingan senyum yang dia tahan di ujung bibir, saya curiga dia sudah menahan tawa sejak tadi di koridor VIP.hmm.