IBU SAYA TIDAK SETUJU SAYA MENJADI WARTAWAN  

Posted by: Anisa Setya Arifina in

Ini bermula dari beberapa bulan belakangan ini dimana bencana meletusnya gunung Merapi sedang ramai diperbincangkan di media massa, tidak terkecuali kantor berita tempat saya magang. Seorang wartawan senior di tempat saya magang, selalu berusaha mengajak kami untuk ikut bersama beliau meliput di daerah-daerah yang terkena efek Merapi. Berhubung pemagang masih ada tanggungan kuliah, maka ajakan ini selalu kami tolak. Bahkan, bos kantor berita tempat kami magang juga tidak mengeluarkan ijin untuk kami pergi meliput ke daerah bencana.

Meletusnya gunung Merapi mulai agak mereda di bulan November 2010, tetapi pemerintah belum menurunkan status Awas-nya. Hal ini berakibat masih banyak pengungsi yang belum diperbolehkan pulang ke rumahnya masing-masing. Wartawan senior yang sama kemudian mengajukan pertanyaan yang sama lagi kepada kami (kedua pemagang), apakah kami mau meliput ke daerah Merapi sana dan mewawancarai pengungsi. Berhubung saat dia bertanya adalah saat kami baru saja selesai dengan ujian tengah semester, maka kami menyahut dengan kencang “MAUUUUU….”.

Wartawan senior itu keluar dari ruangan kami dengan muka sumringah dan akan segera meminta ijin kepada bos kantor berita untuk membawa kami ikut serta liputan ke Merapi. Tetapi sayangnya sampai saat ini belum ada konfirmasi lagi apakah kami bisa ikut atau tidak dengan beliau. Saya rasa bos tidak akan member ijin kepada kami. Padahal kami ingin sekali pergi kesana.

Setelah sampai rumah saya menceritakan hal ini kepada ibu saya :

Ibu :“Jangan,ngapain kamu pergi kesana”(mungkin ibu saya yang sedikit pelupa kalau saya sedang magang di kantor berita sebagai wartawan)

Saya:“Lah aku kan wartawan magang”

Ibu :“Ah, tetep jangan nanti kamu malah dibawa ke puncak Merapinya lagi”

Saya:“Gak lah, kan pasti ada petugas polisi yang jagain mpe radius berapa meter. Lagian nambah pengalaman juga nanti kalau aku jadi wartawan”

Ibu: “Ibu tu dari awal gak pernah setuju kamu jadi wartawan”

Saya: ….krikrikkrik…..*baiklah ibu.

Well, oke setidaknya pasti ibu memiliki alasan yang kuat kenapa tidak membiarkan saya menjadi wartawan. Mereka lebih setuju saya jadi dosen, sedangkan saya ingin sekali menjadi wartawan untuk majalah jalan-jalan atau fashion, setelah merasakan pengalaman menjadi pemagang dengan berita-berita hardnews. Alasan ibu sederhana saja : “Tidak ingin membiarkan saya mati konyol, ketika meliput berita-berita yang mempertaruhkan nyawa, seperti bencana, perang, terorisme dll”.

Setelah dipikir-pikir, alasan ibu ini sangat sinkron dengan kejadian yang menimpa saya sebelumnya, dimana saya disuruh untuk meliput demo buruh. Demo buruh yang dilakukan di siang bolong pasti bisa membakar emosi siapapun. Awalnya demo berjalan dengan tenang, tetapi kemudian, setelah melewati jam 12 siang dan cuaca semakin panas, massa menjadi tidak sabar. Mereka berupaya untuk masuk ke kantor gubernur tetapi dihalangi oleh barikade polisi yang telah berjaga di depan gerbang. Halangan ini kemudian membuat mereka saling dorong dan mengeluarkan kata-kata kotor yang bisa bikin siapa saja emosi karena telah terpanggang hampir 5 jam di bawah terik matahari. Posisi saya saat itu terjepit diantara barikade polisi dan barikade massa, situasi saling dorong tidak dapat terhindarkan. Setelah saya sadar, saya hanya satu-satunya wartawan wanita yang kerempeng sedang di tengah situasi terjepit itu, saya panik kemudian saya beringsut ke belakang barikade polisi, berlindung di pojokan dengan sikap siaga sambil berdoa.”Ya Tuhan jangan ada kerusuhan”. Wartawan non-magang benar-benar mengabadikan momen ini dengan teliti, sedangkan saya ciut dibelakang sambil komat-kamit sambil dihujani tatapan dari para polisi yang curiga. *hadehhh.

Kata-kata makian semakin terdengar dari 2 belah kubu, polisi dan massa. Kepanikan saya menjadi-jadi tapi untunglah aksi dorong-dorongan segera berhenti. Tidak berhenti di situ, demo yang telah ijin kepada pihak polisi sebelumnya ini berjanji hanya akan memakai 1 ruas jalan saja, tetapi semakin siang, massa malah memakan 2 ruas jalan, dan kerusuhan hampir saja terjadi antara massa, polisi dan pengguna kendaraan. *fiuh.

Massa seperti kesetanan memberhentikan kendaraan yang kebanyakan mobil, sambil menggedor-gedor kap depan mobil. Sambil meneriakkan “Kalian gak tau rasanya panasan, dasar tukang korupsi kalian semua” + kata-kata kotor . Lalu saya melirik plat mobil-mobil yang dihentikan mereka, hmm, tidak ada plat merah. Untuk beberapa saat massa yang memakai ruas jalan seenaknya ini tidak bisa dikendalikan dengan polisi, bahkan mereka tidak bisa dipukul mundur (kayak perang!). Saya melihat bambu-bambu yang mereka bawa untuk mengibarkan bendera persatuan buruh, akan dijadikan alat untuk melawan siapapun yang kontra dengan mereka. Para wartawan senior yang saya ikuti sedari tadi (maklum cah magang) malah mendekati mereka, saya terserang panik kedua kalinya,saya sudah mengambil posisi siaga untuk lari, jika sewaktu-waktu memang terjadi kerusuhan. *keterlaluan nan memalukan.

Baiklah, mungkin karena ini saya tidak disetujui menjadi wartawan oleh ibu saya. Serangan panik yang tiba-tiba bukanlah sifat wartawan, lagipula mana ada wartawan yang melewatkan kerusuhan, justru bad news is a good news. Ibu saya juga berpendapat bahwa wartawan adalah orang yang bisa mati konyol, karena mereka mendekati masalah bukannya menjauhinya.

This entry was posted on Senin, November 29, 2010 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar