Wisata Kemiskinan  

Posted by: Anisa Setya Arifina

Kemiskinan adalah bagian dari hidup yang tidak kita sadari telah menyeimbangkan hidup ini. Kemiskinan bukanlah suatu hal yang hina apalagi patut dijadikan tontonan. Kemiskinan adalah bagian dari proses hidup seseorang yang bersifat privat. Kemiskinan bukan sesuatu hal yang patut untuk didramatisir.

Lihat saja di ibukota negara Indonesia, Jakarta yang terkenal dengan laju urbanisasi yang tinggi. Tingkat kemiskinan yang tinggi tidak dapat dihindari. Pendatang dari berbagai kota dari seluruh penjuru Indonesia berebut lapangan pekerjaan di Jakarta, akibatnya mereka yang tidak mendapat pekerjaan yang layak hanya bisa menambah deretan panjang angka kemiskinan di Indonesia.

Beberapa waktu lalu, saya sempat melihat tayangan di TV One yang membahas tentang wisata kemiskinan di Jakarta. Penggagasnya adalah seorang seniman laki-laki dari Indonesia. Dia mendapat ide membuka tempat wisata itu ketika dia sedang berkumpul dengan sesama seniman di Jerman.

Lalu pertanyaan yang dari presenternya adalah “Apakah Anda tidak malu mempertontonkan kemiskinan yang ada di negara Anda sendiri?” Menurut saya pertanyaan dari presenternya sendiri kurang pas, karena kemiskinan bukanlah hal yang memalukan. Kemiskinan ada di hampir semua belahan dunia. Kemiskinan ada sama halnya seperti kekayaan. Menurut saya yang seharusnya malu adalah pemerintah dan aparat negara lainnya yang mengurus negara. Kita patut mempertanyakan apa saja kerja mereka kok bisa sampai kemiskinan negaranya sendiri dijadikan tontonan, oleh warga negara lain pula. Saya jadi malas melihat lebih lanjut berita tentang wisata kemiskinan itu.

Saya tahu mengurus negara bukanlah pekerjaan yang mudah, walaupun begitu pemerintah seharusnya bisa menunjukkan wibawanya dengan mempertegas apa yang tidak boleh dan boleh dilakukan di negara ini.

Wisata kemiskinan ini banyak diminati oleh warga negara asing, rata-rata dari mereka ingin mengetahui potret kehidupan/sisi lain kota Jakarta. Masyarakat kita sendiri cenderung kurang tertarik dengan wisata ini, tentu saja, untuk apa melihat kehidupan yang sudah sehari-hari kita lihat, hal itu menjadi biasa saja bagi kita. Wisata kemiskinan ini juga kurang menguntungkan bagi masyarakat yang dijadikan tontonan ini, mereka tidak mendapat apa-apa dari wisatawan yang datang. Pendapatan mereka juga tidak meningkat akibat adanya wisata kemiskinan ini, karena mereka tidak dilibatkan, mereka hanya menjadi objek.

Kemiskinan bukanlah suatu pertunjukkan yang bisa ditonton sewaktu-waktu. Lagipula apa yang mau ditonton dari kemiskinan?Ironisnya kehidupan mereka, mencuci, mandi dan buang air kecil di tempat yang sama?tidur dalam 1 ruang yang kecil yang tidak lebih besar dari kamar mandi kita di rumah?rumah yang berdiri di bantaran kali yang siap-siap roboh ketika banjir datang?

Sama halnya seperti bencana, kemiskinan harus segera ditanggulangi tanpa adanya dramatisasi. Secara logika jika terjadi bencana perang di sebuah negara, apakah masyarakat dunia berbondong-bondong datang ke negara yang sedang berperang itu untuk menonton atau terperangah saja?Saat terjadi bencana gempa bumi di Haiti beberapa waktu lalu, masyarakat dunia pasti secara cepat tanggap langsung turun tangan membantu, bukannya malah menikmati suasana setelah gempa dengan orang-orang di sekitar yang menjerit minta tolong.

Kalau ada wisata kemiskinan seharusnya ada wisata kekayaan, yang melihat kehidupan orang-orang kaya. Wisata kekayaan ini tentunya diperuntukkan bagi warga yang secara financial menengah hingga menengah ke bawah. Biayanya seharusnya lebih murah dari wisata kemiskinan. Tentu saja wisata kekayaan ini harus bisa terlepas dari sorot media massa yang kadang sering mendramatisir. Apakah peminatnya banyak ya? Yang jelas saya akan menjadi pendaftar pertama dari wisata kekayaan ini, jika memang ada. :P

Sahabat  

Posted by: Anisa Setya Arifina

Kepada sahabat,


Sahabat selalu ada di setiap saat baik di kala senang atau susah. Seperti pasangan hidup, bedanya adalah bisa saja sahabatmu ini laki-laki atau perempuan. Seperti pasangan hidup, sahabat adalah tempat kita bercerita tentang mimpi-mimpi kita atau berbagi mimpi-mimpi kita. Seperti pasangan hidup, sahabat akan memuji ketika mereka melihat sesuatu yang positif pada diri kita dan akan mencela jika mereka melihat sesuatu yang negative yang kita lakukan. Seperti pasangan hidup, sahabat ada untuk mendukung langkah-langkah yang kita ambil untuk mencapai mimpi-mimpi kita, meyakinkan kita bahwa langkah yang kita ambil sudah benar. Sahabat adalah jiwa kita yang lain yang bersemayam di tubuh orang lain.

Perbedaannya dengan pasangan hidup adalah sahabat bukanlah bayangan. Sahabat tidak selalu sejalan dengan kita. Sahabat tidak mengikuti kita kemanapun kita pergi. Meskipun memiliki mimpi-mimpi yang sama persis, sahabat tidak akan menjegal kaki teman sendiri untuk menggapai mimpinya itu. Bukan berarti seorang sahabat harus cuek dengan mimpi temannya atau bukan berarti seorang sahabat harus memasang senyuman palsu demi mendukung kita. Sahabat ada bukan untuk menghantui setiap langkah atau membebani setiap gerakan.

Sudahkah Anda bersahabat?

Saya bukan feminis, tapi hidup itu harus adil Bung!  

Posted by: Anisa Setya Arifina in ,


Dear God,
Why have we created so different from each other?
Why are we given the womb but once we were only entitled to a little over our lives?
Then what is right for us?

Hari yang mendung dan hujan. Hujan tampaknya enggan untuk berhenti hingga sore hari tiba. Memakai payung atau mantel merupakan cara-cara untuk menghindari hujan. Setidak-tidaknya kau punya sebuah cara untuk menghindarinya. Bagaimana jika kau sangat ingin menghindarinya tapi kau tidak bisa melakukannya karena itu akan menyakiti orang-orang di sekitarmu? Kau hanya bisa dan berteduh memandang hujan sampai berhenti. Bukan cara buruk sebenarnya untuk menghindari hujan, tapi bagaimana jika kamu tidak punya banyak waktu lagi?
Teringat ucapan dosen saat kuliah di mata kuliah Komunikasi Gender, “Perbedaan paling besar di muka bumi ini bukan karena persoalan perbedaan SARA (suku, agama dan ras). Perempuan dan laki-laki adalah perbedaan yang begitu besarnya, tetapi mengapa tidak ada perang yang melibatkan kedua gender sebagai kubu yang berbeda?” Padahal jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Hening yang cukup lama tercipta diantara mahasiswa. Sampai sekarang saya juga yakin dosen saya maupun mahasiswa yang saat itu mengikuti kelas, belum ada yang menemukan jawabannya.