Saya bukan feminis, tapi hidup itu harus adil Bung!  

Posted by: Anisa Setya Arifina in ,


Dear God,
Why have we created so different from each other?
Why are we given the womb but once we were only entitled to a little over our lives?
Then what is right for us?

Hari yang mendung dan hujan. Hujan tampaknya enggan untuk berhenti hingga sore hari tiba. Memakai payung atau mantel merupakan cara-cara untuk menghindari hujan. Setidak-tidaknya kau punya sebuah cara untuk menghindarinya. Bagaimana jika kau sangat ingin menghindarinya tapi kau tidak bisa melakukannya karena itu akan menyakiti orang-orang di sekitarmu? Kau hanya bisa dan berteduh memandang hujan sampai berhenti. Bukan cara buruk sebenarnya untuk menghindari hujan, tapi bagaimana jika kamu tidak punya banyak waktu lagi?
Teringat ucapan dosen saat kuliah di mata kuliah Komunikasi Gender, “Perbedaan paling besar di muka bumi ini bukan karena persoalan perbedaan SARA (suku, agama dan ras). Perempuan dan laki-laki adalah perbedaan yang begitu besarnya, tetapi mengapa tidak ada perang yang melibatkan kedua gender sebagai kubu yang berbeda?” Padahal jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Hening yang cukup lama tercipta diantara mahasiswa. Sampai sekarang saya juga yakin dosen saya maupun mahasiswa yang saat itu mengikuti kelas, belum ada yang menemukan jawabannya.
A
pa yang membuat saya tergagum-kagum adalah setelah mata kuliah itu berakhir, pikiran saya jadi berbeda dalam memandang segala hal yang menyangkut ketimpangan gender. Bukan berarti saya adalah seorang feminis sejati.
Pengalaman adalah guru yang berharga. Setidak-tidaknya itu yang dikatakan orang-orang di luar sana yang mungkin tahu artinya atau tidak. Pepatah itu sepertinya tidak berlaku dalam sebuah pernikahan. Semua orang yang menikah pasti memiliki harapan yang besar, bahwa pernikahan itu akan langgeng selamanya sampai maut memisahkan. Mungkin terdengar klise, meski terdengar sederhana tapi untuk mempertahankannya tidak semudah itu.
Saat kita gagal melakukan sesuatu (di luar konteks pernikahan), pepatah “pengalaman adalah guru yang berharga” menjadi semacam semangat atau motivasi yang membantu diri kita bangkit dari keterpurukan. Pengalaman orang lain tentang kesuksesan dan kegagalan bisa dijadikan pembelajaran bagi diri. Saat sebuah pernikahan gagal, orang tidak lantas mengucapkan pepatah yang sama. Orang yang berulang kali menikah, disebabkan kawin-cerai, selalu mendapat tempat untuk digunjingkan di masyarakat kita “Kok sukanya kawin-cerai sih?Murahan banget sih” dll.
S
aya mengenal seorang perempuan. Perempuan ini dulu sangat kuat, tegar, penuh semangat sebelum menikah. Beberapa kali atau bahkan sering dia bersikap seperti anak yang masih puber, kekanak-kanakan, padahal statusnya sudah sebagai mahasiswa. Dia sering melakukan kegiatan kesana-kemari layaknya bocah hiperaktif yang tuli mendengarkan nasihat orang-orang di sekitarnya untuk berhenti. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya adalah kegiatan penting sampai tidak penting. Saya berpikir dia adalah perempuan yang cerdas karena dia bisa melakukan berbagai pekerjaan paruh waktu dalam satu waktu.

S
emua mulai berubah ketika dia memutuskan untuk menikah saat masih menyandang status mahasiswa. Bukan perubahan yang drastis memang, tapi itu terjadi ketika dia mulai mengandung hingga membesarkan anaknya sekarang. Kehamilan adalah anugerah sekaligus kelemahan bagi perempuan. Pernikahannya telah dikarunia 1 anak, tapi dia tak kunjung menyelesaikan kuliahnya. Perempuan ini masih selalu tampak penuh semangat, kuat dan tegar. Semangat itu masih memancar di dalam dirinya, tapi dia tidak bisa mengeluarkannya. Kuliah ingin segera diselesaikannya dengan semangatnya itu. Tidak ada kesempatan. Orang-orang picik dan angkuh ingin menjatuhkan dan memojokkannya hanya karena dia perempuan dan sudah mempunyai anak. Orang-orang egois dan pelit ingin dia berhenti saja dan menyerah. Menyerah bukan pilihan. Andai orang-orang itu tahu apa yang akan mereka dapatkan hanya dengan memberikan perempuan ini sebuah kesempatan.
Sekarang perempuan ini sedang menggalang kekuatan untuk menciptakan sebuah kesempatan. Pernah dalam hidupnya dia begitu bersemangat sampai melanggar aturan-aturan keluarga (masih dalam tahap wajar), pernah dalam hidupnya dia begitu tuli dan melanglang buana mencari pengalaman hidup, maka saya yakin perempuan ini bisa untuk sekali lagi melakukannya. Jangan pedulikan orang-orang picik, angkuh,egois dan pelit yang selalu berkomentar tentang dirimu. Tulikan telingamu dan mantapkanlah langkahmu seperti waktu dulu. Buktikan pada mereka kau adalah perempuan yang kuat. Mulut mereka akan bungkam dengan sendirinya setelah melihat kekuatanmu.
Hal sederhana yang bisa kulakukan untuk perempuan ini adalah berusaha untuk tidak mengasihanimu karena aku tahu air mata akan membuat kita sama-sama lemah dan menyambut setiap senyumanmu walau aku tahu tidak mudah melakukannya.

This entry was posted on Kamis, Mei 20, 2010 and is filed under , . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar