SISTEM PENDIDIKAN YANG BELUM MENJAWAB KEBUTUHAN  

Posted by: Anisa Setya Arifina

Belum selesai aksi protes masyarakat agar UN dihapuskan, sekarang muncul ide menggabungkan UN dan SNMPTN yang dihadapkan dengan pro dan kontra dari masyarakat. Tiap tahun standar kelulusan UN terus ditingkatkan dengan harapan meningkatnya standar pendidikan di Indonesia. Belum bisa dipastikan apakah penggabungan UN dan SNMPTN ini bisa berhasil diterapkan kepada siswa-siswa SMA. Satu hal yang bisa dipastikan adalah standar kelulusannya akan semakin tinggi dari pelaksanaan UN saja.

Sistem kelulusan dan pendidikan di Indonesia masih labil, terbukti dengan standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas selalu berubah-ubah. Standar kelulusannya terus dinaikkan sampai memenuhi target angka kelulusan ideal yaitu 6, mata pelajaran yang diujikan pada UN juga berubah dari 3 mata pelajaran saja (Bahasa Indonesia, Inggris dan Matematika) menjadi 6 mata pelajaran yaitu Matematika, Kimia, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris untuk IPA dan Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Geografi, Ekonomi dan Sosiologi untuk IPS dan rencana perubahan yang paling baru adalah penggabungan UN dan SNMPTN.

Perubahan-perubahan ini dilakukan dalam rentang waktu yang sebentar. Tentu saja ini berakibat pada kemampuan adaptasi para siswa. Siswa dituntut untuk bisa beradaptasi secara cepat dengan sistem yang selalu berubah-ubah ini. Kemampuan adaptasi dalam hal mempersiapkan dan mempelajari materi harus disiapkan 2 kali lipat daripada sebelumnya. Otomatis hal ini akan menguras tenaga dan waktu para siswa 2 kali lipat daripada sebelumnya. Masalahnya adalah kemampuan adaptasi siswa tidak bisa disamaratakan.

Soal-soal yang diujikan pada UN dan SNMPTN tidak bisa disamakan. Soal-soal UN yang hanya menjadi tolak ukur apakah siswa tersebut mampu lulus dari sekolahnya. Soal-soal SNMPTN selain menjadi tolak ukur bakat dan minat siswa, juga bisa menganalisa dan mengukur psikologis siswa sehingga pihak perguruan tinggi bisa menentukan jurusan apa yang paling tepat untuk siswa tersebut. Apalagi biasanya soal-soal SNMPTN memiliki tingkat kesulitan yang tinggi daripada UN.

Kendala lainnya adalah kebutuhan tiap siswa berbeda-beda setelah lulus dari sekolah. Kebutuhan yang dimaksud adalah tidak semua siswa ingin meneruskan ke perguruan tinggi. Mungkin ada sebagian dari mereka yang ingin langsung merasakan dunia kerja atau tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Penggabungan UN dan SNMPTN akan dinilai tidak efektif dan efisien jika dihadapkan dengan situasi yang seperti ini. Usaha siswa untuk belajar 2 kali lipat dari sebelumnya akan sia-sia, jika yang siswa butuhkan hanya nilai UN saja.

Kondisi yang labil dari sistem pendidikan kita membuat pihak-pihak yang bersangkutan menjadi hilang akal dan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh dunia pendidikan Indonesia. Praktek jual beli pendidikan kian marak. Jika memang penggabungan UN dan SNMPTN memiliki tujuan yang mulia yaitu meningkatkan mutu dan standar pendidikan Indonesia, maka dalam pelaksanaanya harus benar-benar diawasi secermat-cermatnya. Jangan biarkan pendidikan kita bisa diperjualbelikan lagi seperti sebuah proyek, karena pendidikan adalah sebuah proses yang panjang dan lama untuk membentuk diri kita supaya kita siap terjun dan berguna bagi masyarakat kelak.

This entry was posted on Kamis, Maret 25, 2010 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar